Prisma : Pasang Surut Sebuah Majalah Akademis



LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial), dikenal luas sebagai salah satu “lembaga penerangan” yang banyak menerbitkan buku-buku teks perguruan tinggi, baik karya asli orang Indonesia maupun terjemahan. Bahkan LP3ES kerap dianggap sebagai perintis penerbitan buku-buku kajian kritis bidang sosial dan ekonomi di Indonesia. Keterkenalan LP3ES semakin lengkap saat LSM ini menerbitkan jurnal Prisma. Dalam edisi perdananya pada November 1971 tersua kalimat-kalimat sebagai berikut, “Madjalah ini [Prisma] dimaksudkan sebagai media djurnal informasi dan forum pembahasan masalah2 Pembangunan Ekonomi, Perkembangan Sosial dan Perubahan2 Kulturil di Indonesia serta diwilajah sekitarnja. Dengan memilih artikel2 ilmiah populer, menjadjikan hasil2 pendahuluan suatu penelitian, survey atau hipotesa, serta gagasan2 orisinil, analisa maupun saduran pendapat2 kontroversial mengenai masalah2 tersebut, “Prisma” ingin mengundang para ahli, sardjana, praktisi, dan pembatja umumnja untuk berdiskusi dan menulis setjara bebas dan kreatif, sambil berkomunikasi kepada masjarakat luas. Lebih dari itu, madjalah ini terutama mentjoba merangsang dan memberi saluran bagi pandangan2 segar dan kritis dari generasi muda Indonesia jang berbakat.”

Sementara redaktur sekaligus Penanggung Jawab Prisma Ismid Hadad menulis dalam Pengantar Redaksi edisi perdana itu dengan kalimat-kalimat, “... Kita senantiasa tenggelam dalam manuver2 politik praktis dan masalah2 rutin, hingga tak pernah sempat memikirkan rentjana masa depan Indonesia dari pandangan jang mendalam. Oleh karena itulah dizaman modern dimana tantangan2 pembangunan republik ini lebih menuntut digunakannja fikiran2 jang matang, makin terasa bahwa kita sekarang perlu kontemplasi, sambil madju terus mengedjar keterbelakangan. Apalagi bila kita tidak mau menemui bentjana2 dalam menjongsong Repelita Ke-II.” Prisma memang mengangkat topik-topik berkait dengan “pembangunan”, misalnya, isu pembangunan daerah, pendidikan, olahraga, kesehatan masyarakat, perempuan, ekonomi pertanian, teknologi, industrialisasi, dan lain-lain. Semuanya disajikan dalam bentuk karangan ilmiah populer atau eksplorasi dan refleksi intelektual. Setiap nomor mengulas secara mendalam satu tema tertentu dari berbagai sudut pandang. Siapa pun dapat menulis di Prisma sejauh memenuhi kriteria keahlian tertentu.

Berbeda dengan jurnal-jurnal akademik, baik yang diterbitkan oleh perguruan tinggi maupun lembaga-lembaga nonperguruan tinggi, yang sangat terspesialisasi dan diperuntukkan “kalangan sendiri,” Prisma disebarluaskan untuk masyarakat pembaca lebih luas. Sejak awal terbit hingga sekarang, sudah ratusan ahli, sarjana, praktisi, dan kaum muda Indonesia yang menulis secara bebas dan kreatif di Prisma.Majalah ini menjadi semacam bacaan “wajib” di kalangan akademisi, mahasiswa, politikus, para pengambil keputusan dan perencana pembangunan, serta kelompok-kelompok strategis lainnya. Mereka memanfaatkan sebagian besar tulisan di Prisma untuk mengkaji perkembangan berbagai teori pembangunan yang diaplikasikan di Indonesia. Pengasuh Prisma sendiri adalah mereka yang berpikiran kritis, nonpartisan, bukan birokrat, dan tidak mengabdi pada dunia akademis formal.



Prisma tampil dengan wajah dan tata-letak cukup sederhana. Majalah dwibulanan ini menggunakan kertas HVS dengan ketebalan isi 52 halaman. Satu tahun setelah terbit perdana, ketebalannya berkembang menjadi 92 halaman. Semula hanya terjual rata-rata 1.000 eksemplar per edisi, namun perlahan-lahan naik menjadi 6.500 eksemplar di pengujung tahun 1975. Pada 1976, Prisma melakukan pembenahan tata-letak, isi, perwajahan, memasang gambar sampul-muka berbentuk lingkaran yang kelak menjadi ciri khas Prisma, dan menambah rubrik-rubrik baru. Jadwal terbit pun diubah dari dwibulanan menjadi bulanan. Setidaknya ada tiga alasan perubahan jadwal terbit. Pertama, untuk memperluas pemasaran karena pembaca Prisma menganggap jadwal terbit dwibulanan terlampau lama. Kedua, menggairahkan para agen dan toko buku karena dengan berubahnya jadwal terbit berarti pendapatan mereka pun akan meningkat. Ketiga, dapat menekan biaya overhead sekaligus harga pokok, karena dengan biaya yang sama dapat diterbitkan 12 nomor dalam satu tahun.

Bila sebelumnya hanya dijual lewat cara berlanggan atau diperoleh di toko-toko buku serta agen-agen khusus yang memiliki akses ke kampus perguruan tinggi, pada tahun 1976 Prisma dapat dijumpai di kios-kios agen koran dan majalah umum. Tak pelak upaya tersebut membuat tiras jual Prisma naik sekitar8.000-14.000 eksemplar per edisi. Namun naik-turunnya tiras jual juga sangat ditentukan oleh isi dan topik yang disajikan. Sebagai contoh, topik-topik Prisma yang cukup laris pada tahun 1970-an adalah “Industri Seks” (Juni 1976) dan “Angkatan Muda” (Desember 1977), sedangkan yang kurang begitu diminati adalah “Olahraga” (April 1978) dan “Sastra” (April 1979). Sementara yang terlaris dan sulit dilampaui oleh edisi-edisi berikutnya adalah“Manusia dalam Kemelut Sejarah” (Agustus 1977). Tiras jual edisi yang mengupas dan menilai kembali tokoh-tokoh Soekarno, Tan Malaka, Amir Sjarifoeddin, Jenderal Soedirman, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, Kahar Muzakkar, dan Rahmah El Yunussuiyah itu sekitar 25.000 eksemplar, belum termasuk yang dicetak dan diterbitkan dalam bentuk buku.

Selain Prisma Indonesia, LP3ES juga menerbitkan Prisma berbahasa Inggris pada 1975. Prisma edisi bahasa Inggris itu terbit dua kali setahun kemudian diubah menjadi empat-bulanan. Sebagian besar isinya berupa terjemahan artikel-artikel pilihan yang telah dimuat Prisma Indonesia. Edisi ini terutama “diekspor” ke luar negeri dan diterima oleh agen-agen yang cukup setia di Negeri Belanda, Amerika Serikat, Australia dan Singapura, di samping sejumlah pelanggan pribadi. Tiras edarnya hanya 1.000 eksemplar dan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan, melainkan lebih untuk memenuhi amanat Anggaran Dasar LP3ES yang antara lain berbunyi: “Menyebarkan pengetahuan yang luas tentang keadaan sosial dan ekonomi Indonesia kepada bangsa lain.” Fungsi utamanya jelas sebagai public-relation LP3ES terhadap dunia internasional, terutama untuk memberi informasi dan menarik perhatian lembaga-lembaga ilmiah dan sumber-sumber dana di luar negeri. Prisma edisi bahasa Inggris mengisi sebagian kekosongan media komunikasi dalam bahasa Inggris tentang Indonesia yang saat itu makin dibutuhkan oleh publik asing, baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Bulan Oktober-November 1974, LP3ES mengadakan readership survey dengan sampel 1.250 orang responden pembaca Prisma yang tersebar di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Ujungpandang, dan Medan. Dari survei itu diketahui 88 persen pembaca Prisma adalah laki-laki dan 12 persen perempuan. Berdasarkan kelompok umur, 33 persen pembaca Prisma berusia 19-26 tahun, 36 persen berusia 27-34 tahun, 20 persen berusia 35-42 tahun, dan 9 persen berusia 43-62 tahun. Sementara tingkat pendidikan pembaca Prisma tamatan SMA sebesar 23 persen, 34 persen sarjana muda atau tamat akademi, 38 persen sarjana atau tamat universitas, dan 3 persen post-graduate. Kelompok pekerjaan mereka 36 persen mahasiswa, 32 persen pejabat pemerintah, 13 persen pengajar atau dosen perguruan tinggi, 9 persen kalangan swasta, 7 persen kaum profesional, dan 3 persen anggota TNI dan Polri dan kelompok lainnya. Dengan kata lain, 69 persen pembaca Prisma adalah golongan muda 19-34 tahun, 72 persen berpendidikan sarjana muda atau lebih, dan 49 persen bekerja di lingkungan perguruan tinggi. Hasil survei itu membuktikan bahwa ide dasar dan tujuan penerbitan Prisma untuk menjadi forum komunikasi dan pembahasan masalah pembangunan sosial ekonomi bagi para sarjana dan cendekiawan muda serta media informasi bagi para praktisi dan pejabat pemerintahan telah berhasil dicapai.

Akhir tahun 1970-an dan awal tahun 1980-an merupakan masa kejayaan Prisma. Hal ini berjalan seiring dengan pembaruan isi Prisma yang kian semarak dengan rubrik-rubrik baru. Tahun 1978 Prisma menghadirkan rubrik “Laporan Khusus”, sebuah laporan jurnalistik yang digarap oleh redaksi dan disajikan setiap tiga bulan yang tidak harus sejalan dengan topik utama. Sebelumnya, pada tahun 1976, Prisma menghadirkan rubrik “Dialog” berupa wawancara dengan beberapa tokoh. Rubrik lain yang diperkenalkan sejak 1979, antara lain, “Dunia Ketiga” yang merupakan artikel terjemahan tentang berbagai masalah negeri-negeri berkembang di Asia Tenggara; “Tesis” berupa ringkasan tesis atau disertasi bidang ilmu-ilmu sosial dan humaniora mengenai masalah Indonesia yang ditulis oleh sarjana Indonesia; “Tinjauan Buku” yang mengulas secara ringkas dan mendalam isi sebuah atau beberapa buku; dan “Kritik dan Komentar.” Pada 1982, Prisma memunculkan rubrik “Tokoh” berupa tulisan mendalam tentang saksi atau pelaku sejarah yang memiliki andil dalam perjalanan negeri ini. Rubrik itu banyak mencuri perhatian sidang pembaca, termasuk rezim Orde Baru, saat mengangkat dan mengulas tokoh-tokoh tertentu yang ditulis oleh penulis atau cendekiawan “tertentu.” Bagaimanapun juga, rubrik-rubrik tersebut membuat isi Prisma lebih bervariasi.

Sejak pertengahan tahun 1980-an Prisma mulai mengalami penurunan tiras jual seiring dengan ketidakteraturan jadwal terbit dan munculnya pesaing dalam bentuk majalah sejenis. Antara tahun 1987-1990, misalnya, Prisma hanya mampu terbit rata-rata delapan nomor per tahun. Tiras edar pun merosot cukup tajam menjadi sekitar 4.000 eksemplar per edisi. LP3ES mencoba mengatasinya dengan melakukan pembenahan di segala lini. Redaksi Prisma, terutama setelah tahun 1984, mulai diperkuat dengan beberapa tenaga baru berijazah S2 dan S3, seperti Farchan Bulkin, Ignas Kleden, Sjahrir, Umar Juoro, dan lain-lain. Sementara di bidang usaha dan pemasaran, Prisma mulai melirik iklan pariwara sebagai sumber pendapatan alternatif. Suplemen (pariwara) kali pertama muncul dalam Prisma Maret 1986 dengan judul “Wajah Komputer Buatan Indonesia.” Dalam edisi Mei 1986, Prisma mengundang sejumlah perusahaan untuk bergabung dalam suplemen perumahan terkait dengan topik nomor itu. Suplemen berikutnya umumnya mengetengahkan pariwara tunggal satu perusahaan, baik terkait maupun tak terkait dengan topik edisi bersangkutan. Suplemen-suplemen tersebut cukup banyak membantu menghidupi Prisma di tengah tiras jualnya yang menyusut.

Merosotnya sirkulasi yang terus berlanjut hingga awal tahun 1990-an membuat pengasuh Prisma harus menata ulangmajalah ini dengan maksud agar dapat menarik pembaca sebanyak mungkin. Upaya tersebut dapat dipahami mengingat masyarakat pembaca dihadapkan dengan begitu banyak bahan bacaan alternatif dan sumber-sumber informasi dalam bentuk lain. Mulai nomor 1 Januari 1994 tidak ditemukan lagi tema tunggal sebagai fokus edisi. Ada semacam penganekaragaman topik dan rubrik-rubrik baru. Tata letak juga diubah. Kertas koran kembali dipakai sama seperti ketika Prisma terbit kali pertama, namun format fisik tetap dipertahankan dengan lebar 17,5 cm dan panjang 25,5 cm serta tebal 96 halaman. Prisma menanggalkan sampul muka berbentuk lingkaran yang selama ini menjadi karakter khasnya dan berganti rupa dengan gambar ilustrasi full-colour di dalam ruang persegi empat. Sampul muka itu juga menyertakan judul artikel dan nama penulis edisi bersangkutan.

Namun semua upaya tersebut tidak berhasil menaikkan sirkulasi dan mengangkat kembali Prisma menjadi bacaan yang laris dan dicari. Tiras jualnya terus merosot. Ada keyakinan bahwa pembaca Prisma akan bertambah karena semakin banyak orang terpelajar. Namun, majalah ini tetap sulit menarik perhatian mereka. Prisma semakin jarang muncul. Persaingan media pun kian sengit. Pembaca ingin mendapatkan informasi yang lebih ringkas dan instan. Sementara itu, krisis ekonomi 1997 mulai melanda beberapa negeri di Asia. Menghadapi situasi semacam itu, Pustaka LP3ES Indonesia mengambil kebijakan “penyelamatan” sekaligus meninjau kembali penerbitan Prisma. Walaupun kondisi pasar melesu dan biaya produksi/cetak membubung, Pustaka LP3ES Indonesia tetap berniat menerbitkan Prisma bila ada dukungan sponsor. Namun, rencana menerbitkan 6 nomor Prisma atas dasar sponsorhip gagal diwujudkan. Pada 1998, Prisma hanya berhasil terbit satu edisi dengan tiras jual sekitar 2.200 eksemplar. Pada 1999, Pustaka LP3ES Indonesia mengambil keputusan menghentikan sementara penerbitan Prisma, karena funding agency tak kunjung tiba. Pengelolaan Prisma akhirnya diserahkan kembali ke Perhimpunan LP3ES. Setelah menghilang selama sepuluh tahun, Prisma terbit kembali pada 17 Juni 2009.***

Dwi Arya Wisesa


Postingan terkait: