Pileg 2014: Kemenangan Yang Tak Mutlak

Pemilihan Umum di Indonesia Tahun 2014




Indonesia adalah negara ketiga terbesar di dunia yang dikategorikan sebagai negara demokratis. Selama 32 tahun Indonesia berada di bawah kekuasaan Orde Baru , namun berhasil melengserkan rezim otoriter itu lewat reformasi politik tahun 1998. Salah satu hasil reformasi adalah perubahan sistem pemilihan umum (pemilu) dari terkendali menjadi lebih bebas, jujur dan adil. Pemilu era Reformasi setidaknya telah diselenggarakan empat kali, yakni pada 1999, 2004, 2009, dan 2014. Sejak Pemilu 2004, Presiden tidak dipilih Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), tetapi dipilih langsung oleh rakyat. Pemilu dilaksanakan dua tahap, yakni memilih anggota parlemen (pemilihan legislatif; pileg) dan memilih presiden dan wakil presiden (pemilihan presiden; pilpres). Pileg dilaksanakan lebih awal, karena partai politik yang memenuhi persyaratan tertentu berhak mengajukan kandidat presiden dan wakil presiden pada pilpres tiga bulan kemudian.

Artikel Majalah Prisma Edisi OLIGARKI ini membahas Pileg dan Pilpres 2014 di Indonesia, termasuk naik-turunnya suara partai serta koalisi partai politik yang mengusung calon presiden dan wakil presiden. Apakah terjadi perubahan suara yang signifikan dalam Pileg 2014? Apa dampak perolehan suara Pileg 2014 terhadap konstelasi kekuatan partai politik di Indonesia pada Pilpres 2014? Koalisi seperti apa yang terbangun pada Pilpres 2014? Artikel ini mencoba-jawab persoalan itu dengan menganalisis tiga aspek secara terpisah, yaitu proses dan hasil pileg; turun-naiknya suara partai pada Pileg 2014 serta wajah lama dan baru anggota parlemen periode 2014-2019, dan; koalisi partai politik pada Pilpres 2014.


Beberapa permasalahan mengemuka  dan mewarnai potret  pesta demokrasi Indonesia, diantaranya :

  • Pertama, mengemukanya masalah distribusi logistik, mulai dari belum sampainya surat suara, kurang, hilang, tidak lengkap, rusak, hingga surat suara tertukar dengan Tempat Pemungutan Suara (TPS) lain.

  • Kedua, lebih kurang 0,5 persen dari 186 juta warga negara yang sudah memenuhi syarat memilih belum terdaftar dalam daftar pemilih. Ada juga yang sudah terdaftar, namun tidak memperoleh kartu pemilih.  Bahkan, satu pekan sebelum Pileg 2014 diselenggarakan, masih ada pemilih yang belum terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT).

  • Ketiga, sistem pemberian suara pada surat suara yang menyulitkan para pemilih. Pemilih harus sekaligus memilih empat orang calon, yaitu calon anggota DPR, DPRD tingkat  provinsi, DPRD tingkat kabupaten/kota, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

  • Keempat, ketidaksinkronan penghitungan suara di tingkat KPU provinsi dengan kelompok pemungutan suara di tingkat bawah. Berdasarkan UU No. 8 tahun 2012, Bab XI tentang Penghitungan Suara bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD harus dilakukan secara manual  mulai dari tingkat Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS)/Kelompok  Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN), Panitia Pemungutan Suara  (PPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), KPU Kabupaten/ Kota, KPU Provinsi hingga  KPU pusat.


Meski terdapat berbagai kekurangan dalam proses dan penyelenggaraan Pileg 2014, sebagian besar rakyat Indonesia menerimanya sebagai pemilu yang legitim. Bahkan, beberapa lembaga survei mengumumkan hasil hitung cepat (quick count) mereka tidak lama setelah proses penghitungan suara selesai.


Lembaga-lembaga survei tersebut adalah Lembaga Penelitian dan Pengembangan Kompas (Litbang Kompas), Indikator Politik Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Centre for Strategic and International Studies (CSIS) & Cyrus Media, Radio Republik Indonesia (RRI), Lembaga Survei Nasional (LSN), dan Saiful Mujani Research & Consulting (SRMC) yang menyatakan bahwa Pileg 2014 tidak menghasilkan pemenang mayoritas mutlak (50% + 1).



Download *


Open Order


* Tunggu beberapa detik, KLIK SKIP AD

Postingan terkait: