Menguatnya Kartel Politik Para "Boss"

Reformasi politik di Indonesia berhasil membangun institusi-institusi dasar demokrasi. Pemilihan umum berjalan secara regular, partai dan parlemen relatif berkembang dan berfungsi, serta desentralisasi bisa berjalan tanpa gejolak berarti.

Di sisi lain, ada kecenderungan reformasi telah dibajak oleh elite politik. Permainan politik uang dan pemakaian kekerasan semakin menggejala. Massa-rakyat seakan mengabaikan sama sekali tipu daya dan intimidasi oleh elite untuk berkuasa.

Bagaimana elite politik membentuk masa depan politik Indonesia? Selain mengkritisi pendekatan oligarki dan bossism, tulisan ini juga mempertanyakan mengapa massarakyat menjadi begitu jinak (docile), sementara usaha-usaha untuk mengorganisasinya selalu mengalami kegagalan?




Banyak optimisme diungkapkan setelah Indonesia selesai menyelenggarakan Pemilu 2009. Secara umum, pemilu dinilai sukses dan disebut sebagai langkah maju demokrasi. Greg Sheridan, komentator surat kabar The Australian, misalnya, mengatakan bahwa pemilihan umum itu juga merupakan “development of strategic good fortune for Australia of epic proportions”.1

Sekalipun demikian, muncul kritik bahwa pemilihan umum kali itu membosankan mengingat tidak adanya perdebatan yang berarti di tingkat ideologi dan kebijakan. Di dalam negeri pun hasil pemilu itu disambut sebagai kembalinya “zaman normal”. Indonesia dianggap telah kembali ke lintasan yang benar sesudah mengalami periode-periode mengguncangkan usai jatuhnya Suharto.

Membosankan! Begitulah bunyi kritik atas sistem politik Indonesia dewasa ini. Memang tampak membosankan. Tidak seperti tahun tahun 1950 dan 1960, politik Indonesia saat ini sungguh mengalami defisit dalam hal perdebatan ideologis. Hampir semua partai politik mengusung ide-ide populis seperti pendidikan dan pelayanan kesehatan gratis. Namun, tidak ada yang berani mengakui secara terus terang bagaimana partai-partai akan membiayai pendidikan dan kesehatan gratis itu. Kontras paling besar antara politik tahun 1950-an dan terkini adalah tidak adanya kekuatan politik yang mau mengubah Negara. Jika dulu partai-partai nasionalis sekuler dan partai-partai Islam bersilang sengketa soal dasar negara, untuk saat ini perdebatan itu tampak menghilang. Bahkan untuk partai Islam seperti Partai Keadilan Sejahtera sekalipun, bentuk negara untuk sementara tidak dipertanyakan.

Secara garis besar ada beberapa hal yang patut dicatat dalam politik Indonesia kontemporer, yang membedakannya dari periode periode sebelumnya. Pertama, sistem kepartaian Indonesia kontemporer jauh lebih stabil ketimbang masa-masa sebelumnya. Sebagaimana ditulis Meitzner, sistem kompetisi antarpartai masa kini bergerak sentripetal, sementara kompetisi antarpartai tahun 1950-an cenderung bergerak sentrifugal.3 Menurut Meitzner, partai partai pada tahun 1950-an cenderung bergerak ke ujung ekstrem, menuju ke basis ideologi masing-masing, yang mengakibatkan polarisasi antarpartai makin menajam. Tidak adanya partai yang berhaluan “sentris” dan moderat menjadikan sistem kepartaian ini menghancurkan dirinya sendiri. Hal sebaliknya terjadi dalam sistem kepartaian kontemporer. Sekalipun institusionalisasi partai politik lemah, namun secara ideologis partai-partai tersebut bergerak ke tengah. Partai-partai yang berada pada titik ideologis ekstrem (wing parties) menghadapi dilema: tetap kecil atau bergerak ke tengah dan menjadi moderat. Dengan menjadi moderat, mereka (a) mempermudah koalisi dengan partai tengah dan (b) memperlebar jangkauan pemilih.

Kedua, yang juga patut dicatat adalah tidak adanya persoalan terhadap ideologi negara. Kecuali beberapa kelompok kecil yang menginginkan diberlakukannya syariat Islam,  hampir tidak ada kekuatan politik yang mempertanyakan dasar negara. Setidaknya begitulah yang ditampilkan di permukaan. Namun demikian, terlalu dini juga untuk mengatakan bahwa ideologi sudah lenyap sama sekali dari politik Indonesia. Pilahan ideologis khususnya antara Islam dan Nasionalis masih terlihat dengan jelas. Hal yang sering muncul dalam beberapa pemilihan umum di Indonesia adalah perpindahan pemilih dari satu partai ke partai lain, namun dalam segmen ideologis yang sama. Kemerosotan suara PDI-P pada Pemilu 2009, misalnya, disebabkan oleh perpindahan pemilih PDI-P ke Partai Demokrat yang masih dalam segmen ideologi yang sama dengan PDI-P. Dengan demikian, basis sosial politik Indonesia –terkenal dengan sebutan “politik aliran” – tidak sepenuhnya terhapus.

Ketiga, politik Indonesia lebih terdesentralisasi daripada masa-masa sebelumnya. Dinamika politik nasional tidak sama dengan dinamika politik di daerah yang sangat plural. Konsekuensinya, jalinan koalisi di tingkat nasional tidak sama dengan jalinan koalisi di tingkat daerah. Dalam ruang lebih sempit, politikus di daerah memiliki kesempatan lebih luas untuk menjalankan mobilisasi berdasarkan identitas kesukuan, agama, bahasa, dan bahkan clan. Kasus-kasus pemilihan kepala daerah langsung (pilkada) menunjukkan bahwa kandidat dengan jejaring personal (personal network) terkuat yang akan memenangkan pemilihan.9 Kecenderungan ini, selain mengubah peta hubungan pusat-daerah di dalam partai, juga mengubah hubungan antara elite lokal dan nasional.

Keempat, dan menjadi fokus utama tulisan ini, adalah persoalan elite politik. Berbeda dengan dugaan banyak orang yang berandai-andai bakal adanya pertarungan antara elite pendukung otoriterisme dengan pendukung demokratisasi, kalangan elite di Indonesia menampakkan stabilitas luar biasa. Berbeda dengan di Filipina setelah tumbangnya kediktatoran Marcos, misalnya, pemerintahan Aquino mengalami kesulitan luar biasa dalam menghadapi kelompok- kelompok elite yang mendukung faksifaksi di dalam tentara. Pemerintahan Aquino menghadapi paling tidak tujuh kali percobaan kudeta. Sementara di Indonesia situasinya relatif stabil dan hampir tanpa gejolak. Apakah yang bisa menjelaskan stabilitas elite politik di negeri ini? Apakah ini akan berlangsung dalam jangka waktu relatif lama dan akan menjadi pola perpolitikan Indonesia di masa depan?

Persoalan elite ini saling terkait dengan partai, sistem kepartaian, serta hubungan antara kondisi lokal dan politik nasional. Namun, sebelumnya kita akan melihat dua konstruksi teoretis populer yang berkaitan dengan elite politik ini, yakni oligarki yang bersifat predator dan bossism. Penulis sendiri akan keluar dengan konsep “kartel,” sebuah konsep ekonomi yang diterapkan untuk menganalisis sistem kepartaian (politik). Dalam banyak hal, menurut penulis, kartel lebih tepat untuk menganalisis stabilitas politik Indonesia.......


Detail

Postingan terkait: